Apa Jadinya Bila Allah Tidur? Jawaban Menyentuh dari Perspektif Tauhid

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menghadapi berbagai tantangan dan ketidakpastian. Dalam momen-momen sulit itu, mungkin kita bertanya-tanya: “Apa jadinya bila Allah tidur?” Pertanyaan ini tidaklah sepele; ia menggugah pemikiran dan memerlukan refleksi mendalam terhadap konsep …

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menghadapi berbagai tantangan dan ketidakpastian. Dalam momen-momen sulit itu, mungkin kita bertanya-tanya: “Apa jadinya bila Allah tidur?” Pertanyaan ini tidaklah sepele; ia menggugah pemikiran dan memerlukan refleksi mendalam terhadap konsep ketuhanan dan kekuatan tauhid.

Perspektif tauhid, yang menekankan keesaan Allah, merupakan fondasi bagi banyak ajaran dalam agama. Dalam pandangan ini, Allah tidak pernah terlepas dari alam semesta; Dia senantiasa mengawasi dan mengatur setiap inci kehidupan. Namun, untuk tujuan eksplorasi filosofis, mari kita coba bayangkan sebuah dunia di mana Allah “tidur”. Apa yang terjadi jika entitas paling berkuasa ini, yang menjadi sandaran bagi seluruh makhluk, terlelap?

Dalam suatu tasybih, anggaplah Allah seperti matahari yang selalu bersinar, memberikan cahaya dan kehidupan kepada semua yang ada. Apabila matahari terbenam dan “tidur”, kegelapan akan menyelimuti dunia. Tanpa cahaya, segalanya akan terpasung dalam ketidakpastian. Animasi kehidupan sehari-hari yang biasanya penuh warna dan enerji akan meredup. Dan dengan demikian, pertanyaan mendasar muncul: Tanpa pengawasan Allah, apa yang akan terjadi pada sifat manusia dan perilaku mereka?

Dalam konteks tauhid, kita memahami bahwa sifat-sifat Allah, seperti Al-Hayy (Yang Maha Hidup) dan Al-Qayyum (Yang Maha Berdiri Sendiri), menggambarkan ketidakberpihakan dan kesempurnaan dalam pengawasan. Tidurnya Sang Pencipta akan memunculkan kekacauan. Kehidupan akan kehilangan arah. Tanpa bimbingan Ilahi, moralitas manusia menjadi kabur, dan individu mungkin akan bertindak hanya berdasarkan kepentingan diri sendiri. Konsekuensi dari ketidakpahaman akan makna kedamaian dan keadilan akan semakin menetap di masyarakat.

Selain aspek moral, jika kita mempertimbangkan tatanan kosmik, kita akan mendapati bahwa ketidakaktifan Allah akan mengganggu keseimbangan alam semesta. Dalam ilmu fisika, segala sesuatu berada dalam keadaan dinamis, bergerak dan berinteraksi. Apabila Allah “tidur”, kita bisa membayangkan terjadinya kekacauan di alam semesta; bintang-bintang tak lagi bersinar, planet-planet saling bertabrakan, dan elemen-elemen dasar yang menyusun realitas kita menjadi tak teratur.

Dari segi humanistik, pertanyaan tentang tidur Allah juga mencerminkan kerinduan kolektif manusia terhadap otoritas dan keadilan. Dalam dunia di mana Allah terlelap, penindasan, keserakahan, dan ketidakadilan akan meningkat, karena siapa yang akan meluruskan kesalahan? Di sinilah peran tauhid dalam membangun etika dan moral yang kuat terpampang. Dengan menyadari bahwa Allah yang Maha Mengetahui selalu hadir, individu didorong untuk berperilaku baik, bertindak adil, dan saling menghormati.

Mari kita menggunakan metafora. Bayangkan sebuah kapal yang berlayar di lautan yang tenang. Kapten kapal mewakili Allah; dia mengatur arah dan mengawasi keselamatan awak kapal. Jika kapten tertidur, badai bisa datang tanpa peringatan. Para awak kapal—yang mewakili umat manusia—akan bingung, terombang-ambing tanpa panduan. Tanpa keminatan seorang pemimpin bijaksana, siapa yang akan menavigasi kapal menuju keselamatan?

Momen-momen krisis seringkali membawa napas spiritual yang lebih dalam. Ketika kita merasa tertekan dan seolah-olah Allah menjauh, saat itulah kita perlu mengingat bahwa Dia tidak pernah melupakan hamba-hamba-Nya. Tauhid menjadi pengingat bahwa Allah senantiasa hadir, bahkan di tengah kebisingan hidup yang membuat kita merasa sendirian.

Dalam hidup, ketika kita menghadapi kesulitan, anggaplah itu sebagai pengingat akan ketidakberdayaan kita tanpa kehadiran-Nya. Persoalan yang kita hadapi bukanlah kebetulan, melainkan kesempatan untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Renungan tentang Tuhan yang “tidur” harusnya membawa kita pada pengertian bahwa disinilah letak kelemahan kita sebagai manusia. Kita membutuhkan Allah secara konstan dalam perjalanan ini.

Pada akhirnya, pertanyaan: “Apa jadinya bila Allah tidur?” seharusnya bertransformasi menjadi momen introspeksi bagi setiap individu. Kita diajarkan untuk tidak hanya beriman kepada Allah, tetapi juga untuk bergantung kepada-Nya dalam setiap langkah kehidupan. Dalam bingkai tauhid, menganggap Allah tidur tidaklah mungkin, karena Esensi-Nya senantiasa aktif, mengatur, dan melindungi, bahkan ketika kita tidak merasakannya.

Oleh karena itu, ungkapan tauhid ini menjadi semakin penting. Keterhubungan kita dengan Allah mengajarkan kita arti dari keberanian, cinta, dan harapan. Mari kita terus berkomitmen untuk mengingat bahwa Allah tidak hanya ada untuk menyelamatkan kita dari masalah, tetapi juga sebagai beacon yang memberikan arti dalam perjalanan hidup yang kompleks ini.

Tinggalkan komentar

Exit mobile version